top of page
Search

Cerita di Balik Pengguna BPJS [In depth Reportage]

  • Writer: Ballerina Agatha
    Ballerina Agatha
  • Jul 31, 2020
  • 8 min read

Sumber foto: lifepal.co.id

“Yah, sudah tutup, Ma, untuk yang siang..”

Rumah sakit begitu ramai dikunjungi orang-orang yang ingin berobat. Terlihat seorang ibu menggendong anak balitanya yang menderita katarak menunggu dibukanya loket. Ia bercerita betapa sulitnya untuk berobat ke Rumah Sakit besar. Begitu banyak tahapan untuk mendapatkan rujukan. Kesulitan, itulah yang dirasakan para pemegang kartu Badan Penyelenggara Kesehatan Sosial (BPJS). Banyak peraturan yang harus diikuti, tetapi terkadang saat berada di lapangan tidak sesuai dengan apa yang tertulis. Keluhan terus-menerus masuk, melalui lembaga ataupun media sosial.

Suatu kamis pagi menjelang siang (5/3/2020), sebuah keluarga datang ke Rumah Sakit Hermina yang berada di Ciputat. Ibu Tilly (79 tahun), ditemani kedua anak perempuan serta salah satu menantunya memutuskan untuk pergi berobat hari itu. Beberapa hari terakhir Tilly mengalami gangguan sakit perut, mual, dan muntah-muntah. Belum lagi penyakit itu juga membuat Tilly tidak merasa ingin makan untuk waktu yang cukup lama. Dengan pergi berobat ke Penyakit Dalam di rumah sakit, ia berharap sakit perutnya dapat terobati dengan baik.

Jam menunjukkan pukul 11 pagi. Setelah menjajaki lantai dua rumah sakit, Ola, salah satu anak Ibu Tilly segera memberitahu bahwa pendaftaran sudah ditutup sembari mengarahkan jari telunjuknya ke kaca loket pendaftaran yang menuliskan tanda ‘Tutup’.

“Yah, sudah tutup, Ma, untuk yang siang..”

Loket pendaftaran untuk berobat penyakit dalam pada sesi siang hanya dibuka dari pukul 9 sampai 10 pagi. Karena sudah terlambat, mereka harus menunggu untuk berobat penyakit dalam di sesi malam. Untuk mendaftarkan diri berobat penyakit dalam sesi malam selanjutnya, mereka harus menunggu loket pendaftaran yang akan dibuka pukul 3 sore. Selang waktu menunggu, mereka sempat pergi untuk menyantap makan siang. Namun karena waktunya masih cukup lama, mereka memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah, sementara Ola yang akan menunggu dibukanya loket pendaftaran jam 3 nanti untuk mendaftarkan Tilly sebagai pasien penyakit dalam.

Tiga puluh menit sebelum pukul 3 sore, Ola kembali berjalan ke loket pendaftaran untuk mengantri duluan. Ia terkejut melihat banyak orang yang sudah mengantri di sana. Untungnya ia tidak terlambat kali ini. Setelah mengantri dan mendaftar Ibunya sebagai pasien, ia mendapatkan nomor antrian berobat ke-50. Ia kemudian diberi tahu oleh petugas administrasi rumah sakit kalau Ibu dokter penyakit dalam akan datang pukul 5 sore. Ola pun segera menelpon untuk memberi informasi kepada Ibu dan keluarganya.

Tidak lama setelah itu, Ola kembali mendapat informasi bahwa Ibu dokter yang akan memeriksa hanya dapat praktek dari pukul 5 sampai 6 malam saja. Ola tak percaya saat itu. Ia mendapat nomor antrian 50 yang berarti ada lebih dari 50 pasien yang akan berobat. Pikirnya jelas tidak cukup jika seorang dokter memeriksa semua pasien tersebut hanya dalam 1 jam. Pada saatnya tiba, Ibu dokter pun datang pukul 5. Tidak terlalu awal namun tidak terlambat juga.

Hingga tiba gilirannya, pukul 5 lewat 45 menit Tilly masuk bersama salah satu anaknya, Iona, ke dalam ruang periksa pasien penyakit dalam. Tanpa basa-basi, Ibu Dokter langsung menanyakan keluhan Tilly apa saja. Ia terlihat mencatat keluhan yang Tilly sampaikan dan setelahnya langsung meminta Tilly untuk naik dan berbaring di kasur pasien untuk diperiksa. Ia mengarahkan stetoskop ke sebelah kanan lalu ke kiri perut Tilly sembari menanyakan apakah sakit atau tidak. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut Tilly diminta turun dan kembali ke tempat duduk.

Sambil menuliskan resep obat untuk Tilly, Ibu Dokter itu langsung mengakhiri dan menyampaikan,

"Minggu depan bisa datang lagi ya.."

Setelah menerima resep obat, Tilly dan Iona keluar dari ruang periksa pasien. Ya, waktu periksa pasien memakan waktu tidak sampai 5 menit. Tilly dan Iona pun tidak dapat berkonsultasi lebih lanjut. Jangankan konsultasi, untuk bertanya pun tidak cukup waktu karena sang dokter terlihat buru-buru. Jika direnungkan, untuk berobat, pasien BPJS harus mengantri sebanyak 3 kali: untuk mendaftar, berobat, dan mengambil obat. Proses begitu panjang yang harus dilalui setiap pasien untuk mendapatkan kesehatan yang layak. Tragis memang.

Setelah akhirnya menerima obat, ternyata Tilly hanya mendapatkan semacam obat maag yang kita pun tahu bahwa obat itu juga bisa dibeli sendiri di apotek. Tidak perlu susah-susah berobat ke rumah sakit dulu. Ola yang mempunyai aplikasi rumah sakit tersebut langsung menuliskan feedback yang salah satunya mengeluhkan mengenai dokter yang terburu-buru dalam mengobati pasien.


***

Sama-sama lansia, pengalaman kurang menyenangkan saat menggunakan layanan BPJS juga terjadi pada Kosen. Kakek berumur 80 tahun yang pada tahun 2018 lalu merupakan anggota BPJS kelas 1. Akibat faktor usia, ia mengeluh sakit di bagian lututnya dan ternyata ada cedera pada tempurung lutut. Sehari-hari Kosen masih sering mengunjungi cucu kesayangannya dengan sepeda atau sepeda motor dan terkadang beli makanan sendiri. Bisa dibilang masih cukup aktif untuk usianya. Akibat cedera tersebut, kegiatannya pun terhambat karena hanya untuk jalan saja terasa sakit. Maka ia memutuskan untuk berobat menggunakan BPJS.

Sesuai dengan proses layanan BPJS, pasien akan terlebih dahulu pergi ke Puskesmas untuk mendapatkan rujukan ke rumah sakit. Di puskesmas, Kosen harus mengantri selama 2 jam sebelum akhirnya diperiksa oleh dokter umum. Akhirnya ia dirujuk ke RS PHC Surabaya. Menurut Kosen, untuk pasien yang biaya pengobatannya ditanggung seluruhnya oleh BPJS, masih harus mengantri nomor dan diperiksa dokternya cukup lama. Namun, beda halnya kalau separuh biayanya mau ditanggung sendiri, menunggunya akan lebih cepat. Selain itu jika dibiayai full, dokter yang siap untuk operasi pun bisa menunggu sampai setengah bulan, 1 minggu, atau tergantung kapan dokternya tersedia. Selain itu, operasinya tidak akan maksimal karena untuk tempurungnya harus menambah biaya sendiri. Jika tidak dibeli sendiri, pihak rumah sakit tidak menjamin apakah setelah operasi kakinya bisa ditekuk lagi, kenyamanannya tidak dapat ditanggung.

“Dokternya enggak nanggung itu, katanya kalau setahun lagi gak enak ya suruh balik lagi, kalau tempurungnya beli sendiri aman ini sampai sekarang,” ujar Kosen.

Akhirnya, Kosen memutuskan untuk membayar sebagian biaya operasinya sendiri. Uang yang harus dikeluarkan untuk operasi sebesar 90 juta dan BPJS hanya menanggung sebesar 35 juta. Tidak perlu menunggu lama, dari hari itu pemeriksaan, besoknya bisa langsung dioperasi dan hasil operasinya baik dan nyaman sampai sekarang. Kosen pun dapat beraktivitas seperti dahulu lagi.

Kosen juga sempat bercerita tentang pengalaman keduanya menggunakan BPJS, kali ini biayanya ditanggung penuh oleh BPJS. Kosen melakukan operasi katarak di RS Royal Surabaya. Keluhannya tetap serupa dengan sebelumnya, mengenai lama waktu menunggu. Dari mengambil rujukan, antri di RS untuk mengambil nomor antrian dokter sekitar 1 jam, lalu menunggu dokternya datang bisa dari jam 8/9-an dokternya baru datang jam 11, atau bahkan kalau telat bisa sampai jam 1 siang, dan terakhir untuk mengambil obat bisa sampai 2 jam, maka ia lebih memilih untuk mengambil di keesokan harinya. Sudah 2 tahun belakangan ini Kosen tidak lagi menggunakan BPJS, padahal sebenarnya ingin berobat untuk jantungnya, tetapi akhirnya malas karena waktu tunggu yang lama.

***

Kisah korban BPJS selanjutnya datang dari salah satu pasien yang pernah dirawat inap di Rumah Sakit Permata Pamulang. Vanessa mengalami kejadian ini di pertengahan Desember 2018. Awalnya ia berobat ke penyakit dalam karena sudah tiga hari panas tinggi dan sakit perut yang tidak tentu. Setelah diperiksa oleh Dokter, ia kemudian langsung menawarkan Vanessa untuk sebaiknya dirawat inap atau opname agar pengobatan lebih maksimal dengan menggunakan BPJS. Walaupun jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya Vanessa juga dapat menjalankan pengobatan dengan rawat jalan dalam arti tidak harus diopname asalkan meminum obat-obatan yang dianjurkan dokter.

Ketika Vanessa dirawat inap dengan menggunakan kartu BPJS, kartu tersebut sebenarnya dapat menutup biaya rawat inap pasien hanya sebanyak tiga hari saja. Lalu, apa yang terjadi setelah tiga hari? Selama tiga hari, dokter tersebut memberi dorongan yang cukup intens kepada Vanessa agar segera sembuh dengan mengikuti apa perkataan dokter. Contohnya mengkonsumsi makanan sehat, minum aqua botol ukuran besar sehari 2 botol, dsb. Walaupun sebenarnya hal itu dilakukan agar pasien dirawat tidak lebih dari tiga hari.


Jika pasien ternyata harus dirawat lebih dari tiga hari, dokter tersebut bisa melakukan hal yang tidak terduga. Ia dapat menjadi marah kepada pasien tersebut karena baginya, pasien tidak mengikuti perkataannya, pasien tidak memiliki semangat untuk sembuh. Sampai akhirnya, dokter dapat memutuskan secara sepihak dengan memulangkan pasien kembali ke rumah karena tidak bisa mengikuti perkataan dokter selama tiga hari. Padahal semua hanya karena rumah sakit yang tidak dapat menutup biaya pengobatan pasien.


Menilik Kembali Panduan BPJS

Setelah mendengar beberapa kisah ketidakpuasan pasien dengan pelayanan BPJS, kami melihat-lihat dan menganalisis “Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan” yang terbuka untuk diakses siapapun di website bpjs-kesehatan.go.id. Jika diamati dan dibandingkan dengan kasus-kasus tersebut, memang sebenarnya rumah sakit-rumah sakit tersebut tidak melanggar peraturan atau pedoman dari BPJS ini, tetapi praktik pelayanannya yang tidak bagus, kurang maksimal, dan kurang memuaskan pasien.

  • Jika dilihat dari kasus Tilly yang merupakan pasien rawat jalan, dilihat dari cakupan layanan yang ada di poin “Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan” mengenai rawat rawat jalan tingkat lanjutan, dokter tidak melanggar satupun poin-poin yang ada dalam panduan tersebut. Pasien sudah mendapatkan tindakan medis, diperiksa, konsultasi, dan diberi anjuran obat, tetapi pelayanan dari dokter dan rumah sakit tersebut yang tidak maksimal. Pasien tidak mendapatkan pelayanan maksimal yang diharapkan. Pelayanan terkesan asal-asalan.

  • Untuk kasus Vanessa yang dipaksa untuk pulang dari rumah sakit setelah dirawat 3 hari, rumah sakit tersebut termasuk melanggar peraturan. Di dalam peraturan BPJS tidak ada batas waktu pemulangan waktu pasien dalam waktu 3 hari. 3 hari adalah batas penyelesaian administrasi dan maksimal hari untuk perawatan satu tingkat lebih tinggi dan jika lebih pun biayanya akan ditanggung oleh Fasilitas Kesehatan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat pada panduan BPJS pada bagian “Rawat Inap tingkat Lanjutan.”

  • Di bagian “Pelayanan yang tidak dijamin” terdapat 17 poin yang berisi layanan yang tidak ditanggung oleh BPJS. Kasus-kasus yang ada di atas semuanya termasuk dalam pelayanan yang dapat dijamin oleh BPJS, termasuk dalam kasus operasi lutut Kosen, hanya batasan yang bisa ditanggung oleh BPJS tidak maksimal. Jika dalam kasus Kosen, keluarganya dapat menambah biaya yang kurang untuk perawatannya, bagaimana dengan kasus masyarakat lain yang kurang mampu untuk menambah kurang biaya, maka lututnya mungkin tidak dapat ditekuk seperti semula. Padahal salah satu tujuan adanya BPJS adalah untuk dapat membantu kesehatan masyarakat yang kurang mampu.

  • Kesamaan ketidaknyamanan yang sama-sama didengar dari setiap narasumber adalah waktu tunggu pelayanan yang cukup lama. Tentu hal ini membuat pasien yang sakit menjadi semakin tidak nyaman, terutama untuk lansia. Hal ini terjadi kepada pasien-pasien kelas 1 sampai 3, mungkin hanya terdapat perbedaan lama tunggu berdasarkan rumah sakit.

Sebagai tambahan, berdasarkan “Pedoman Umum Tata Kelola yang Baik (Good Governance) BPJS Kesehatan”, di point b dari Misi BPJS seperti yang dapat dilihat di atas, sepertinya pada kenyataannya, paling tidak untuk misi pelayanan tersebut, BPJS masih belum dapat memenuhinya secara maksimal.

Penelusuran Akses BPJS di RSCM

Ketika tim liputan tiba di RSCM, kami masuk ke gedung yang baru dan melakukan pemeriksaan suhu tubuh, kemudian menuju ke loket antrian yang terlihat sepi dan eksklusif, namun loket itu bukan untuk pembayaran BPJS, petugas di sana bilang bahwa loket BPJS berada di gedung lama. Kemudian kami pindah menuju gedung lama untuk melihat kondisi antrian BPJS. Suasana loket BPJS terlihat berbeda dengan loket pribadi yang tim kunjungi di depan tadi, BPJS jauh lebih gelap dengan cahaya ruangan seadanya dan akses masuk yang tanpa melewati pemeriksaan suhu tubuh. Di sana terlihat kurang lebih lima orang yang menunggu di bangku ruang tunggu loket BPJS, petugas keamanan bilang bahwa loket akan dibuka pukul 8.00. Karena masih jam 7.30, tim mencoba untuk berbincang dengan salah satu calon pasien BPJS, yakni Ibu Sawiyah asal Bekasi dengan anak balitanya yang menderita katarak.

Beliau bercerita kepada kami bahwa proses BPJS agak rumit, untuk dapat berobat di RSCM memerlukan beberapa tahapan yakni ke Puskesmas terdekat untuk meminta surat rujukan ke RS terdekat yakni RS Hermina Bekasi, kemudian dari RS tersebut dirujuk lagi ke RS Cipto Mangunkusumo. Tahapan ini dinilai mempersulit pasien untuk mendapatkan pengobatan.

Setelah berbincang dengan ibu Sarwiyah, kami melihat hanya 3 dari 6 loket yang tersedia yang melakukan pelayanan. Rasa penasaran kami terjawab ketika petugas keamanan di sana bilang bahwa untuk hari Sabtu dan Minggu memang hanya 3 loket yang dibuka dan hanya melayani pasien yang rawat inap, sedangkan pasien rawat jalan hanya dilayani di hari Senin-Jumat. Informasi tersebut masih perlu pengamatan lebih lanjut oleh tim dengan melakukan kunjungan di hari kerja.

Jam sudah menunjukkan pukul 8.15, namun loket belum juga memanggil nomor antrian, 3 loket tersebut masih sibuk menyiapkan keperluan-keperluan, seperti berkas dan data yang terlihat begitu menumpuk dan memerlukan “oper-operan” untuk mendapatkan dokumen tersebut. Ada petugas medis yang memberikan dokumen, kemudian dirasa kurang lalu beliau balik lagi ke bagian belakang untuk memeriksa data yang lain. Pemandangan oper-operan berkas ini yang menurut kami memperlama penanganan pasien yang mengantri. Ketika pasien pertama dipanggil, durasi pelayanan memakan waktu sekitar 8-15 menit untuk mengurus pendaftaran administrasi. Sehingga calon pasien BPJS membutuhkan waktu tunggu dan waktu pendaftaran yang cukup lama.

Dari penelusuran tersebut menunjukkan bahwa pelayanan BPJS belum sepenuhnya memudahkan masyarakat. Seperti yang tim liputan temukan di lapangan, bahwa proses pelaksanaan BPJS cenderung lama karena memerlukan banyak surat izin terutama ketika melakukan perpindahan dari puskesmas daerah lalu ke rumah sakit (yang bekerja sama dengan BPJS) kemudian barulah pasien mendapat surat rujukan ke rumah sakit yang menangani pasien BPJS. Belum lagi adanya pembeda fasilitas, suasana, dan penanganan antara pengguna BPJS dan pengguna tanpa BPJS.

Tim liputan:

Alden

Maytiska

Sarah Nur Izza

Tashya Ballerina

Vanessa Eunike

Vania D. G


 
 
 

Comments


©2025 by Tashya Ballerina

  • Instagram - Black Circle
  • LinkedIn - Black Circle
bottom of page