top of page
Search

MENIKAH DENGAN WNA DEMI KESEJAHTERAAN EKONOMI

  • Writer: Ballerina Agatha
    Ballerina Agatha
  • Jun 6, 2020
  • 6 min read

Updated: Jul 14, 2020

Representasi WNA dan Pernikahan Campur di pemberitaan dan media sosial di Indonesia

Warga Negara Asing (WNA) adalah seseorang yang tinggal di suatu negara tetapi bukan berasal dari negara tersebut. Dalam KBBI, WNA merupakan orang warga negara lain. Warga Indonesia sendiri lebih sering memanggil WNA dengan sebutan bule. Beberapa WNA merasa lebih akrab jika dipanggil bule. Namun, sebagian dari mereka merasa bahwa bule adalah persamaan dari “whitey” yang artinya orang berkulit putih, sehingga menimbulkan kesan rasis, seperti yang ditulis oleh BBC Indonesia.

Pada kenyataannya, warga Indonesia cenderung menilai bahwa “bule” adalah sosok yang unik, superior, berparas menawan, memiliki ekonomi dan hidup yang sejahtera. Hal ini dilihat dari berita-berita yang membahas tentang bagaimana pengalaman para WNA yang berkunjung ke Indonesia, kemudian warga negara Indonesia meminta mereka untuk berfoto bersama, dan mengunggah foto tersebut di media sosial. Contohnya di Instagram, terdapat tagar #fotosamabule yang mencapai 216 postingan, kebanyakan dari pengunggah foto tersebut adalah orang Indonesia yang berfoto dengan WNA. Selain itu, di Youtube juga banyak konten yang membahas tentang tips menikah dengan bule, prank dengan bule, apa yang harus dan tidak boleh dilakukan jika bertemu bule, gombalin bule, dan reaksi-reaksi bule ketika mencoba beberapa hal khas Indonesia. Kebanyakan dari konten tersebut lebih sering menggunakan kata bule, dan kata WNA lebih sering memunculkan konten tentang pengurusan administrasi untuk izin tinggal atau pun menikah.


Representasi dari kata WNA dan bule sangat berbeda, WNA cenderung lebih formal dan sangat terkait dengan hukum kewarganegaraan, sedangkan bule lebih digunakan untuk topik yang santai. Menurut Stuart Hall, representasi adalah bentuk bahasa yang tidak hanya secara verbal, tetapi juga simbol, gerak-gerik, dan ekspresi yang menggambarkan makna dari suatu hal yang direpresentasikan. Selain penggunaan bahasa dalam merepresentasikan WNA, cara media merepresentasikan kehidupan.


Jika kita mencari kata WNA dalam kolom pencarian yang ada di laman Kompas.com, mayoritas pemberitaan yang ditampilkan adalah tentang pengurusan e-ktp, perizinan tinggal, dan hal-hal terkait kewarganegaraannya di Indonesia. Sedangkan, jika kita mencari kata bule, di kolom pencarian Kompas.com, berita yang dibahas adalah mengenai aksi nyentrik bule saat berada di Indonesia, yang pada nyatanya hal yang dilakukan bukanlah hal yang luar biasa. Salah satu beritanya yakni “Viral Video Bule Bercelana Pendek Atur Lalu Lintas di Makassar, Ini penjelasan polisi”, "Begpackers" Fenomena Turis Bule Kehabisan Uang dan Mengemis”, dan “Kisah Cinta Seorang Petani di Banjarnegara, Menikahi Bule Cantik Asal Ceko”. Jika semua pelaku dari berita tersebut merupakan orang asli Indonesia, hal tersebut kemungkinan akan menjadi pembahasan yang lazim dan bukan dianggap menjadi sesuatu yang unik. Para WNA yang melakukan hal-hal yang ada di Indonesia justru sangat menarik perhatian masyarakat, unik, dan memicu rasa penasaran. Terutama pemberitaan mengenai pernikahan antar kewarganegaraan, WNI dengan WNA.


Dalam Pasal 57 UU Perkawinan, menjelaskan bahwa Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan. Di Indonesia, pernikahan antar kewarganegaraan dinilai sebagai hal yang “wah” dan menjadi idaman kebanyakan orang. Hal ini dilihat dari komentar-komentar atas postingan mengenai “tips dapetin cowo bule” di youtube,dan postingan di instagram rachel goddard - beauty vlogger yang menikah dengan pria asal Inggris- komentar-komentar yang muncul dalam postingan tersebut kebanyakan mengenai harapan para warganet untuk dapat memiliki pasangan seperti Ben Goddard. Misalnya komentar dari akun instagram @syeillasyesil yang menuliskan “Tuh nyari suami kyk gini, memperbaiki keturunan” sambil menandai dua akun temannya. Dan akun instagram @queentapratiwi, “Jadi pengen nikah sama bule”. Perkumpulan PerCa Indonesia (Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia) sudah mencapai 1.200 anggota. Itu yang terdata oleh perkumpulan ini, yang belum terdata mungkin lebih banyak lagi. Dalam data KUA, tidak ada pencatatan mengenai statistik pernikahan campuran di Indonesia.


Ketertarikan untuk menikah dengan WNA, dikuatkan dengan bagaimana media merepresentasikan pernikahan campuran yang selalu diviralkan melalui berita, artikel, dan tayangan hiburan. Media merepresentasikan bahwa menikah dengan WNA adalah hal yang keren, karena hampir rata-rata berita mengenai WNA selalu terkait dengan bagaimana kisah cinta antar kewarganegaraan, penggabungan budaya, kesejahteraan ekonomi, memperbaiki keturunan, perbedaan agama, kehidupan asmara yang bahagia. Seperti berita yang dimuat oleh kompas regional di tahun 2018 dengan judul “Kisah Haru Perjuangan Bule Selandia Baru Nikahi Gadis Asal Wonogiri”, ataupun judul yang mengandung unsur diskriminasi seperti “Mengapa Pria Bule Pilih Wanita Asia yang tidak Cantik sebagai Istri?” yang terdapat dalam kompas lifestyle.


Judul berita pertama seolah merepresentasikan bahwa bule atau WNA memiliki tekad dan ambisi yang tinggi untuk memperjuangkan kisah cintanya, ini memungkian dapat memicu perempuan indonesia semakin yakin untuk memilih pria WNA sebagai suami dikarenakan kesetiaan dan perjuangannya mempertahankan hubungan. Kemudian di judul berita yang kedua merepresentasikan bahwa untuk menjadi pasangan dari pria WNA, tidak memerlukan wajah yang cantik”. Hal ini dapat memicu perilaku untuk tidak merawat diri atau mempercantik diri, karena merasa bahwa pria WNA lebih suka dengan yang tidak cantik. Hal ini juga ditunjukan melalui komentar-komentar warganet di youtube dalam video “Tips dapetin cowo bule” yang diunggah oleh akun TheConnellTwins, komentar dari Khansa Justisia Dinsi yang bertuliskan “Pertama banget the connell bilang, mereka (pria WNA) suka kulit cokelat. Me: ada untungnya juga gua main panas-panasan pas kecil”.


Hal-hal tersebut menjadi alasan beberapa masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan pasangan hidup seorang WNA. Siapapun dan dari manapun asal negara seorang WNA, ataupun latar belakangnya seperti apa, tidak terlalu dipertimbangkan, bahkan beberapa orang di Indonesia menggunakan jasa “mak comblang” untuk mendapatkan pasangan seorang WNA. Hal tersebut terjadi di kalimantan barat, menurut data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil SIngkawang, jumlah pernikahan campur di Singkawang tahun 2012 terdapat 96 kali atau jika dirata-rata sekitar delapan kali perbulan terdapat pernikahan perempuan WNI Singkawan dengan pria WNA, kemudian pada tahun 2013, sejak Januari hingga bulan September, terdapat 59 kali atau jika dirata-rata terdapat enam kali pernikahan antara perempuan WNI Singkawang dengan WNA.


Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Trans7 kepada Mardiana Maya Satrini selaku Ketua Ikatan Pendamping Sosial Masyarakat Kalimantan Barat, beliau menjelaskan bahwa alasan perempuan di daerah ini menikahi wna adalah karena dianggap dapat mensejahterakan ekonomi keluarga si perempuan yang kurang sejahtera. Pada kenyataannya, untuk mensejahterakan ekonomi keluarga tidak harus menikahi WNA, menikahi pria lokal juga dapat mensejahterakan ekonomi.


Pandangan dan pemikiran bahwa pria WNA dapat mensejahterakan hidup keluarga yang memicu pelaku kriminal untuk menjalankan aksinya dengan memanfaatkan perkawinan campuran. Seperti halnya yang terjadi di daerah Singkawang - Kalimantan Barat, yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dengan ekonomi yang seadanya, membuat anak-anak perempuan yang ada disana memilih menikahi pria WNA dengan tujuan untuk memperbaiki ekonomi keluarga dan bangkit dari keterpurukan ekonomi. Jika dilihat dari nilai Upah Minimum Provinsi (UMP), Kalimantan Barat mendapat angka Rp 2,211,266, yang lebih rendah dari UMP Jakarta, dengan angka mencapai Rp 3.940.973.


Berdasarkan berita yang dimuat oleh Trans7 dalam Redaksi Kontroversi, menerangkan bahwa keluarga yang tinggal di daerah Kalimantan Barat, terutama Singkawang, akan menasehati anak perempuannya yang berusia 18 tahun untuk menikah dengan pria WNA dengan tujuan sebagai jalan pintas untuk lepas dari keterpurukan ekonomi. Biasanya, anak perempuan yang memiliki darah keturunan tionghoa, dan mau menikahi pria WNA dengan imbalan harta untuk keluarga, sering disebut dengan Amoy atau Amoi. Para Amoy ini biasanya dicari oleh mak comblang, yang nantinya akan dijodohkan dengan pria Taiwan yang mencari istri berasal dari Singkawang, hal ini dikarenakan bahasa masyarakat singkawang yakni Hakka (khe cia/khek), mirip dengan bahasa yang dipakai di Taiwan, namun dengan aksen yang berbeda. Data yang diberikan kepada Amoy dimanipulasi, seolah-olah pria Taiwan yang akan menjadi suaminya adalah orang yang mapan dan memiliki ekonomi yang sejahtera. Begitu pula dengan data yang diterima oleh pria Taiwan, si perempuan digambarkan sesuai dengan kriterianya dan shio yang sesuai kepercayaan mereka. Semua proses administrasi dilakukan oleh orang ketiga, atau mak comblang.


Pernikahan campuran yang dilakukan melalui mak comblang ini, sedikit menyerupai perdagangan pengantin. Tidak semua perempuan yang menikah dengan pria hasil pilihan mak comblang berakhir bahagia, ada sebagian perempuan singkawang yang malah dieksploitasi secara ekonomi oleh keluarga mempelai pria. Mereka dilarang untuk pulang ke Indonesia, dan dipaksa harus bekerja untuk memenuhi hutang dari imbalan yang diberikan oleh pria ke keluarga wanita. Selain itu juga perempuan-perempuan ini terkadang menerima kekerasan fisik dari si suami, seperti ditampar, kupingnya ditarik hingga tuli sementara. Pernikahan campur jadi modus praktek penjualan manusia, bahkan menjadi jalur alternatif untuk membawa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke taiwan (pada tahun 2004 penempatan TKI informal ditutup oleh Taiwan, sehingga diadakan pernikahan rekayasa untuk menjadikan si istri sebagai TKI secara diam-diam).


Representasi yang ditayangkan oleh media mengenai WNA dan pernikahan campuran tidak selalu sesuai dengan apa yang ada dalam realita. Ketika apa yang sebenarnya terjadi, tidak sesuai dengan representasi, maka seseorang akan merasa kurang puas, dan merasa kecewa.


Kajian ini telah dipratinjau oleh Roy Thaniago dan dipublikasikan pada 25 Juni 2019 dalam ebook "Ada Apa Dengan Media: Kumpulan Kajian Media". Klik link berikut untuk mengunduh bit.ly/2x7RKVG

 
 
 

Comentários


©2025 by Tashya Ballerina

  • Instagram - Black Circle
  • LinkedIn - Black Circle
bottom of page