top of page
Search

LENGGAK-LENGGOK BALLET BETAWI

  • Writer: Ballerina Agatha
    Ballerina Agatha
  • Jun 6, 2020
  • 5 min read

Updated: Jul 15, 2020


Pertunjukan ballet betawi yang dipentaskan oleh penari Ballet yang belajar koreografi pencak silat. Foto oleh M. Farhan Badru.

Lentur dan anggun, adalah kata yang mewakilkan wujud dari tari balet. Berbeda dengan budaya betawi yakni pencak silat, yang identik lebih kokoh dan garang. Namun siapa sangka, kedua budaya yang memiliki karakteristik berbeda ini dapat dikolaborasikan, sehingga melahirkan jenis pertunjukan baru yang luar biasa. Ballet betawi, ya. Itulah sebutan yang diberikan untuk pertunjukan kolaborasi seni antara tari balet dengan pencak silat betawi.


“Ayo! Power-nya keluarin!” teriak seorang pria berbusana rapi yang sedang melatih para ballerina. Pria itu adalah Rusdy Rukmarata, seorang penari balet sekaligus koreografer tari yang juga merupakan ketua program harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dalam event Telisik Tari “Ballet in Batavia” yang digelar oleh DKJ, Rusdy menampilkan mahakaryanya dalam industri ballet, yakni tari “Ballet Sambal Matah”. Melalui karyanya tersebut, beliau ingin menunjukkan bahwa kolaborasi antarbudaya dapat menciptakan kreasi budaya baru yang tidak memengaruhi ciri khas dari masing-masing budaya.

Potret Rusdy Rukmarata dalam acara Telisik Tari Ballet in Batavia

Dengan musik ala orkestra yang menggema di ruangan penuh kaca, para penari dengan busana betawi mulai bergemulai seolah tubuhnya ringan seperti bulu angsa. Unik, itulah kata yang terlintas dalam pikiran ketika melihat para penari balet mementaskan tarian dengan khas dan kuda-kuda ala pencak silat serta tari tradisional betawi. Siapa sangka budaya asal Eropa dapat dikombinasikan dengan budaya Indonesia, dan menghasilkan koreografi baru yang membuat mata penonton terbelalak kagum.


Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa ada ballet di Indonesia? Pertanyaan ini dijawab oleh seorang akademisi sekaligus penari balet senior yakni Julianti Parani dalam diskusi Telisik Tari “Mengapa Ada Ballet di Indonesia?”. Beliau menjelaskan, bahwa pada tahun 1929, awal mula tari balet masuk ke Batavia (saat ini Jakarta), dari pertunjukkan oleh seorang primadona balet asal Rusia, yaitu Anna Pavlova. Perkembangan tari balet di Indonesia dapat dikatakan merupakan bagian dari perkembangan kontemporer ke dalam tari akibat dari proses globalisasi, yang bermula pada awal abad 20. Eksistensi tari balet selama lebih dari satu abad itu bermulai sebagai hiburan seni pertunjukan orang Eropa pada masa penjajahan Belanda. Julianti menambahkan bahwa hadirnya ballet di Indonesia membawa harmonisasi baru bagi para budayawan.

Pertunjukan ballet yang dipadu tari tradisional Indonesia bertajuk “The Miracle of Eight” karya Andrew Greenwood. Foto oleh M. Farhan Badru.

Kemudian tari ballet ini meluas dengan lahirnya komunitas dan sekolah balet di Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang setidaknya di tahun 1950-an. Ketika Indonesia merdeka, kegiatan tersebut diambil alih oleh seniman Indonesia yang dulunya berguru balet dari orang Eropa. Kemudian mereka melanjutkan kegiatan ballet untuk menjadi bagian dari perkembangan seni tari Indonesia, bersama-sama dengan tari tradisional dan tari kreasi baru dari berbagai budaya etnik. Julianti juga menambahkan bahwa budaya Indonesia perlu maju dan populer seperti budaya di Eropa, dan kolaborasi antarbudaya ini akan menjadi perantara populernya budaya Indonesia di kancah Internasional tanpa menghilangkan khas Indonesianya.


“Ballet itu suatu tarian agung di luar negeri yang begitu maju. Di Indonesia juga sudah mengakar sejak jaman Hindia Belanda, memang yang dimaksud itu pada suatu bentuk balet yang mengarah ke budaya orang barat, budaya Eropa. Namun itu hanya suatu media bukan suatu sifat karakter barat, kita harus mengIndonesiakannya. Warna Indonesianya itu harus ada mengakar supaya bisa lebih menarik orang-orang Indonesia melihat dirinya sendiri” ujar Julianti.

Pertunjukan ballet yang dipadu tari tradisional Indonesia bertajuk “The Miracle of Eight” karya Andrew Greenwood. Foto oleh M. Farhan Badru.

Ballet in Batavia menjodohkan para penari balet dari berbagai komunitas balet di Jakarta dengan tari Betawi. Masing-masing penari memiliki disiplin tubuh tersendiri, hasil pelatihan selama bertahun-tahun yang sudah melekat erat dalam tubuhnya. Pada awalnya para penari terlihat canggung, bentuk-bentuk gerak tari Betawi yang dihasilkan terlihat seperti ‘cacat’ dan tidak luwes. Tari Betawi memang memiliki gestur yang berlawanan dengan balet. Namun, para penari memiliki disiplin dan mental yang luar biasa, sehingga dapat menghasilkan gerakan yang indah.


Dalam proses koreografinya, terdapat tiga elemen gerak yang dituangkan yaitu betawi, ballet, dan silat. Silat menjadi unsur yang penting dan sering dihadirkan dalam koreografi tari Betawi. Ada salah satu teknik lemparan yang digunakan dalam sebuah koreografi, teknik ini dengan hati-hati diterapkan agar penari tidak cedera.

Viko Andy seorang penari ballet asal United Dance Works yang mementaskan tari “Blood Brothers”

Viko Andy, seorang remaja pria dengan dada bidang yang mengenakan pakaian seorang pendekar betawi, berbagi kisah mengenai tantangan dan kesulitan yang dihadapi selama latihan tari betawi khususnya untuk koreografi pencak silat. Penari balet asal kelas tari United Dance Works ini, merasa mengalami kesulitan terbesar ketika mengikuti karya kolaborasi tari balet dan betawi, yakni ketika tubuhnya sudah terbiasa dengan koreografi balet yang lentur dan ringan, harus ditempa lagi dengan gerakan pencak silat yang kokoh dan penuh tenaga.


“Prosesnya it was very challenging sih menurut aku, karena kita yang cowok-cowoknya belum pernah dapat basic silat sama sekali. Karena kan yang seperti Bang Atien kasih tahu ke kita kalau cowok itu di Betawi lebih ke silat daripada narinya. Jadi untuk belajar silat yang biasanya kita nari itu sangat-sangat challenging banget sih. Jadi prosesnya untuk kita latihan itu tuh sangat-sangat menguras tenaga. Mending nari berjam-jam deh daripada silat sebenarnya. Cuman, kita kan harus profesional, jadi kita belajar itu semua.” ungkap Viko.


Meskipun kolaborasi tari antarbudaya ini memiliki nilai negatif, yakni dicurigai dapat memengaruhi nilai khas dari masing tari. Namun, di sisi lain kolaborasi ini justru dapat memperkaya jenis dan karya dari suatu budaya. Hal ini juga dijelaskan oleh Rusdi Rukmarata. “Sebenarnya budaya Indonesia itu akulturatif. Di Betawi, Batavia dulu sangat kental dengan budaya Asia Kuno, Arab, Cina, India dan Portugis karena merupakan pelabuhan jalur perdagangan. Jadi kalau diliat budaya Betawi itu juga sudah akulturasi dari berbagai budaya. Yang mau kita lakukan itu sebenarnya untuk mengembalikan budaya Indonesia, budaya akulturatif. Sehingga jika ballet masuk dalam Indonesia akan makin kaya lagi budaya Indonesia.” Ujar Rusdy.


Rusdy juga menambahkan bahwa Ballet in Batavia yang mempertemukan dua genre tari yang berbeda ini telah menghasilkan sejumlah kosakata gerak baru bagi penari Betawi maupun penari balet. Akulturasi balet dan tari Betawi ini menghasilkan kekayaan baru dalam dunia tari Indonesia, sebuah kekayaan yang tidak dimiliki oleh negara maupun yang memiliki tradisi balet yang kuat.


“Tantangannya adalah kita sebenarnya tanpa sadar bisa merusak kalau kita cuma kayak nempel-nempel gitu. Misalkan ini tari Betawi dikasih balet sedikit, tanpa tahu dasarnya, filosofinya, sebab akibatnya. Karena sebuah gerakan itu kan ada dasarnya, ada dasar kultur. Apakah ia dari kultur petani, apakah ia dari kultur pelaut, itu nanti beda, bergeraknya juga beda. Kalau ada nuansa itu, jadinya bisa dipertanggungjawabkan apapun yang dia buat. Dan tidak akan merusak yang aslinya, tidak akan menghilangkan kultur yang sudah ada,” ungkap Rusdy.


Pada dasarnya kita sebagai orang Indonesia bertanggung jawab untuk terus merawat dan melestarikan budaya asli Indonesia yang menjadi akar bagi kehidupan kita. Ibarat pohon jika dari akarnya tidak dirawat maka ia tidak akan pernah bisa tumbuh kuat. Dengan adanya balet betawi ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan budaya, baik dengan cara mengkombinasikan budaya untuk menggaet pasar budaya populer tanpa menghilangkan unsur-unsur asli budaya Indonesia, atau mempertahankan budaya asli itu sendiri. Selain itu juga, diharapkan dapat meningkatkan kreatifitas dan pengembangan bakat generasi muda untuk bebas berekspresi melalui akulturasi budaya.

Penulis Artikel: Aulia Ivanka, Gabriella Lamba, Shifa Nur, dan Tashya Ballerina

Photographer & Videographer dan penyunting gambar: M. Farhan

 
 
 

コメント


©2025 by Tashya Ballerina

  • Instagram - Black Circle
  • LinkedIn - Black Circle
bottom of page